Selasa, 25 Oktober 2011

Syekh Muhammad Arsyad al- Banjari


Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari (atau lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al- Banjari (lahir di Lok Gabang, 17 Maret 1710 – meninggal di Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun atau 15 Shofar 1122 – 6 Syawwal 1227 H)[1] adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Beliau hidup pada masa
tahun 1122-1227 hijriyah. Beliau
mendapat julukan anumerta Datu Kelampaian. Beliau adalah pengarang Kitab Sabilal
Muhtadin yang banyak menjadi
rujukan bagi banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.[2] Silsilah keturunan Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq,[3] berpendapat bahwa ia adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid
Mindanao. Jalur nasabnya ialah Maulana
Muhammad Arsyad Al Banjari bin
Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan
Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah
bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad
Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al
Idrus Al Akbar (datuk seluruh
keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As
Sakran bin Abdurrahman As Saqaf
bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali
Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin
Muhammad Maula Shama’ah bin
Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin
Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam
Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.[3][4][5] Riwayat Masa kecil Diriwayatkan, pada waktu Sultan
Tahlilullah (1700 - 1734 M) memerintah Kesultanan Banjar, suatu hari ketika berkunjung ke
kampung Lok Gabang. Sultan melihat seorang anak berusia sekitar 7 tahun
sedang asyik menulis dan
menggambar, dan tampaknya cerdas
dan berbakat, dicerita-kan pula bahwa
ia telah fasih membaca Al-Quran
dengan indahnya. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta
pada orang tuanya agar anak tersebut
sebaiknya tinggal di istana untuk
belajar bersama dengan anak-anak
dan cucu Sultan. Menikah dan menuntut ilmu di Mekkah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga
usia mencapai 30 tahun. Kemudian
ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut. [6] Hasil perkawinan tersebut ialah
seorang putri yang diberi nama
Syarifah. Ketika istrinya mengandung anak
yang pertama, terlintaslah di hati
Muhammad Arsyad suatu keinginan
yang kuat untuk menuntut ilmu di
tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya
kepada sang istri tercinta. Meskipun dengan berat hati
mengingat usia pernikahan mereka
yang masih muda, akhirnya isterinya
mengamini niat suci sang suami dan
mendukungnya dalam meraih cita-
cita. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad
Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan
cita-citanya. Deraian air mata dan
untaian doa mengiringi
kepergiannya. Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad
mengaji kepada masyaikh terkemuka
pada masa itu. Di antara guru beliau
adalah Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al-
Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad
bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul
Karim al-Samman al-Hasani al-
Madani. Syekh yang disebutkan terakhir adalah
guru Muhammad Arsyad di bidang
tasawuf, dimana di bawah
bimbingannyalah Muhammad Arsyad
melakukan suluk dan khalwat,
sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah. Setelah lebih kurang 35 tahun
menuntut ilmu, timbullah kerinduan
akan kampung halaman. Terbayang
di pelupuk mata indahnya tepian
mandi yang di arak barisan
pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di
pematang dan desiran angin
membelai hijaunya rumput.
Terkenang akan kesabaran dan
ketegaran sang istri yang setia
menanti tanpa tahu sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada
Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa
itu. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah,
seorang yang telah banyak
membantunya telah wafat dan
digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang
pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan
serta kemajuan agama Islam di
kerajaannya. Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan upacara
adat kebesaran. Segenap rakyatpun
mengelu-elukannya sebagai seorang
ulama "Matahari Agama" yang
cahayanya diharapkan menyinari
seluruh Kesultanan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci
dicurahkan untuk menyebarluaskan
ilmu pengetahuan yang diperolehnya.
Baik kepada keluarga, kerabat
ataupun masyarakat pada umumnya.
Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’[7]. Selama hidupnya ia memiliki 29 anak dari tujuh isterinya. [8] Hubungan dengan Kesultanan
Banjar Pada waktu ia berumur sekitar 30
tahun, Sultan mengabulkan
keinginannya untuk belajar ke Mekkah demi memperdalam ilmunya. Segala
perbelanjaanya ditanggung oleh
Sultan. Lebih dari 30 tahun
kemudian, yaitu setelah gurunya
menyatakan telah cukup bekal
ilmunya, barulah Syekh Muhammad Arsyad kembali pulang ke
Banjarmasin. Akan tetapi, Sultan
Tahlilullah seorang yang telah banyak
membantunya telah wafat dan
digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah II yang pada
ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta
kemajuan agama Islam di
kerajaannya. Sultan inilah yang
meminta kepada Syekh Muhammad
Arsyad agar menulis sebuah Kitab
Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kelak kemudian dikenal dengan nama
Kitab Sabilal Muhtadin. Pengajaran dan bermasyarakat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
adalah pelopor pengajaran Hukum
Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman
dari Mekkah, hal pertama yang
dikerjakannya ialah membuka tempat
pengajian (semacam pesantren)
bernama Dalam Pagar, yang
kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat
menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di
seluruh Kerajaan Banjar, banyak
yang merupakan didikan dari
suraunya di Desa Dalam Pagar. Di samping mendidik, ia juga
menulis beberapa kitab dan risalah
untuk keperluan murid-muridnya
serta keperluan kerajaan. Salah satu
kitabnya yang terkenal adalah Kitab
Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-
pegangan pada waktu itu, tidak saja di
seluruh Kerajaan Banjar tapi sampai
ke-seluruh Nusantara dan bahkan
dipakai pada perguruan-perguruan di
luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam. Karya-karyanya Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad
yang paling terkenal ialah Kitab
Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya
adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-
tafaqquh fi amriddin, yang artinya
dalam terjemahan bebas adalah "Jalan bagi orang-orang yang mendapat
petunjuk untuk mendalami urusan-
urusan agama". Syekh Muhammad
Arsyad telah menulis untuk keperluan
pengajaran serta pendidikan,
beberapa kitab serta risalah lainnya, diantaranya ialah:[9] Kitab Ushuluddin yang biasa
disebut Kitab Sifat Duapuluh, Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab
yang membahas soal-soal itikad
serta perbuatan yang sesat, Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab
tentang wanita serta tertib suami-
isteri, Kitabul Fara-idl, semacam hukum-
perdata. Dari beberapa risalahnya dan
beberapa pelajaran penting yang
langsung diajarkannya, oleh murid-
muridnya kemudian dihimpun dan
menjadi semacam Kitab Hukum
Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci,
puasa dan yang berhubungan dengan
itu, dan untuk mana biasa disebut
Kitab Parukunan. Sedangkan
mengenai bidang Tasawuf, ia juga
menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar