Filosofi Rumah Adat Banjar Pemisahan jenis dan bentuk rumah
Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber pada
kepercayaan Kaharingan pada suku Dayak bahwa alam semesta yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu
alam atas dan alam bawah.Rumah
Bubungan Tinggi merupakan lambang mikrokosmos dalam makrokosmos yang besar.Penghuni
seakan-akan tinggal di bagian duniatengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah. Di rumah
mereka hidup dalam keluarga besar,
sedang kesatuan dari dunia atas
dan dunia bawah melambangkan
Mahatala dan Jata (suami dan
isteri). rumah Bubungan Tinggi melambangkan berpadunya
Dunia Atas dan Dunia Bawah Dwitunggal Semesta Pada peradaban agraris, rumah
dianggap keramat karena
dianggap sebagai tempat
bersemayam secara ghaib oleh para
dewata seperti pada rumah Balai suku Dayak Bukit yang berfungsi sebagai rumah ritual. Pada masa Kerajaan Negara Dipa sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk
patung pria dan wanita yang
disembah dan ditempatkan dalam
istana. Pemujaan arwah nenek
moyang yang berwujud pemujaan
Maharaja Suryanata dan Puteri Junjung Buih merupakan simbol perkawinan (persatuan) alam atas
dan alam bawah Kosmogoni
Kaharingan-Hindu. Suryanata
(surya= matahari; nata= raja)
sebagai manifestasi dewa
Matahari dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang
menjadi orientasi karena terbit
dari ufuk timur (orient) selalu
dinantikan kehadirannya sebagai
sumber kehidupan, sedangkan
Puteri Junjung Buih berupa lambang air, sekaligus lambang kesuburan
tanah berfungsi sebagai Dewi Sri di Jawa . Pada masa tumbuhnya kerajaan Hindu, istana raja
merupakan citra kekuasaan bahkan
dianggap ungkapan berkat dewata
sebagai pengejawantahan
lambang Kosmos Makro ke dalam
Kosmos Mikro. Puteri Junjung Buih sebagai perlambang "dunia bawah"
sedangkan Pangeran Suryanata
perlambang "dunia atas". Pada
arsitektur Rumah Bubungan Tinggi
pengaruh unsur-unsur tersebut
masih dapat ditemukan. Bentuk ukiran naga yang tersamar/ didestilir (bananagaan)
melambangkan "alam bawah"
sedangkan ukiran burung enggang gading melambangkan "alam atas". Pohon Hayat Wujud bentuk rumah Banjar
Bubungan Tinggi dengan atapnya
yang menjulang ke atas merupakan
citra dasar dari sebuah "pohon
hayat" yang merupakan lambang
kosmis. Pohon Hayat merupakan pencerminan dimensi-dimensi dari
satu kesatuan semesta. Ukiran
tumbuh-tumbuhan yang subur pada Tawing Halat (Seketeng) merupakan perwujudan filosofi
"pohon kehidupan" yang oleh orang Dayak disebut Batang Garing dalam kepercayaan Kaharingan yang pernah dahulu berkembang dalam
kehidupan masyarakat Kalimantan
Selatan pada periode sebelumnya. Payung Wujud bentuk rumah Banjar
Bubungan Tinggi dengan atapnya
yang menjulang ke atas merupakan
sebuah citra dasar sebuah payung
yang menunjukkan suatu orientasi
kekuasaan ke atas. Payung juga menjadi perlambang
kebangsawanan yang biasa
menggunakan "payung kuning"
sebagai perangkat kerajaan.
Payung kuning sebagai tanda-
tanda kemartabatan kerajaan Banjar diberikan kepada para
pejabat kerajaan di suatu daerah. Simetris Wujud bentuk rumah Banjar
Bubungan Tinggi yang simetris,
terlihat pada bentuk sayap
bangunan atau anjung yang terdiri
atas Anjung Kanan dan Anjung
Kiwa. Hal ini berkaitan dengan filosofi simetris (seimbang)
dalam pemerintahan Kerajaan
Banjar, raja sebagai kepala negara
dibantu oleh mangkubumi sebagai
kepala pemerintahan, sedangkan
mangkubumi dibantu oleh dua orang asisten yaitu Mantri Panganan
(Asisten Kanan) dan Mantri
Pangiwa (Asisten Kiri) yang
membawahi 4 orang menteri
(Mantri Ampat= menteri
berempat) yang bergelar Patih dan 4 menteri lainnya yang bergelar
Sang, sehingga terdapat 8 menteri
utama (menteri berdelapan),
dimana tiap-tiang menteri
tersebut memiliki pasukan masing-
masing. Konsep simetris ini tercermin pada rumah bubungan
tinggi. Kepala-Badan-Kaki Bentuk rumah Bubungan Tinggi
diibaratkan tubuh manusia terbagi
menjadi 3 bagian secara vertikal
yaitu kepala, badan dan kaki.
Sedangkan anjung diibaratkan
sebagai tangan kanan dan tangan kiri yaitu anjung kanan dan anjung
kiwa (kiri). Tata Nilai Ruang Pada rumah Banjar Bubungan Tinggi
(istana) terdapat ruang Semi
Publik yaitu Serambi atau surambi
yang berjenjang letaknya secara
kronologis terdiri dari surambi
muka, surambi sambutan, dan terakhir surambi Pamedangan
sebelum memasuki pintu utama
(Lawang Hadapan) pada dinding
depan (Tawing Hadapan ) yang
diukir dengan indah. Setelah
memasuki Pintu utama akan memasuki ruang Semi Private.
Pengunjung kembali menapaki
lantai yang berjenjang terdiri dari
Panampik Kacil di bawah,
Panampik Tangah di tengah dan
Panampik Basar di atas pada depan Tawing Halat atau "dinding
tengah" yang menunjukkan adanya
tata nilai ruang yang hierarkis.
Ruang Panampik Kecil tempat bagi
anak-anak, ruang Panampik
Tangah sebagai tempat orang- orang biasa atau para pemuda dan
yang paling utama adalah ruang
Panampik Basar yang
diperuntukkan untuk tokoh-tokoh
masyarakat, hanya orang yang
berpengetahuan luas dan terpandang saja yang berani duduk
di area tersebut. Hal ini
menunjukkan adanya suatu
tatakrama sekaligus
mencerminkan adanya pelapisan
sosial masyarakat Banjar tempo dulu yang terdiri dari lapisan atas
adalah golongan berdarah biru
disebut Tutus Raja (bangsawan)
dan lapisan bawah adalah golongan
Jaba (rakyat) serta di antara
keduanya adalah golongan rakyat biasa yang telah mendapatkan
jabatan-jabatan dalam Kerajaan
beserta kaum hartawan. Tawing Halat/Seketeng Ruang dalam rumah Banjar
Bubungan Tinggi terbagi menjadi
ruang yang bersifat private dan
semi private. Di antara ruang Panampik Basar yang bersifat semi private dengan ruang Palidangan yang bersifat private dipisahkan oleh Tawing Halat artinya "dinding pemisah", kalau di daerah Jawa disebut Seketeng. Jika ada selamatan maupun menyampir
(nanggap) Wayang Kulit Banjar maka pada Tawing Halat ini bagian
tengahnya dapat dibuka sehingga
seolah-olah suatu garis pemisah
transparan antara dua dunia (luar
dan dalam) menjadi terbuka.
Ketika dilaksanakan "wayang sampir" maka Tawing Halat yang
menjadi pembatas antara
"dalam" (Palidangan) dan luar
(Paluaran/Panampik Basar)
menjadi terbuka. Raja dan
keluarganya serta dalang berada pada area "dalam" menyaksikan
anak wayang dalam wujud aslinya
sedangkan para penonton berada
di area "luar" menyaksikan wayang
dalam bentuk bayang-bayang. Denah Cacak Burung Denah Rumah Banjar Bubungan
Tinggi berbentuk "tanda tambah"
yang merupakan perpotongan dari
poros-poros bangunan yaitu dari
arah muka ke belakang dan dari
arah kanan ke kiri yang membentuk pola denah Cacak Burung yang sakral. Di tengah- tengahnya tepat berada di bawah
konstruksi rangka Sangga Ribut di
bawah atap Bubungan Tinggiadalah Ruang Palidangan yang merupakan
titik perpotongan poros-poros
tersebut. Secara kosmologis maka
disinilah bagian paling utama dari
Rumah Banjar Bubungan Tinggi.
Begitu pentingnya bagian ini cukup diwakili dengan penampilan
Tawing Halat (dinding tengah)
yang penuh ukiran-ukiran (Pohon
Hayat) yang subur makmur. Tawing
Halat menjadi fokus perhatian dan
menjadi area yang terhormat. Tawang Halat melindungi area
"dalam" yang merupakan titik
pusat bangunan yaitu ruang
Palidangan (Panampik Panangah). Referensi 1. ^(Indonesia) Mohamad Idwar Saleh, Rumah tradisional Banjar, rumah
bubungan tinggi, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Proyek Pengembangan
Permuseuman Kalimantan Selatan, 1980
Tidak ada komentar:
Posting Komentar