Jumat, 21 Oktober 2011

jeruk madang tinggal legenda

Mengejutkan!Kalimantan Selatan, bukan hanya
harus kehilangan Pulau Larilarian
yang semula diklaim masuk wilayah
Kabupaten Kotabarau, Kalsel,
ternyata menjadi kesatuan
wilayah Kabupaten Mejene, Sulawesi Barat. Jauh sebelum pemberitaan lepasnya
satu pulau di kawasan selatan itu
mencuat ke permukaan, kita urang
Banua tidak menyadari telah pula
kehilangan satu species tumbuhan
andalan yang termasuk salah satu aset daerah. Limau atau jeruk madang, kini
sudah boleh dinyatakan ‘punah’.
Jeruk yang rasa manisnya sudah
melegenda itu, ternyata bibitnya
tercerabut dari ranahnya akibat
terserang satu jenis penyakit yang mematikan. “Bisa dikatakan sudah tidak ada
lagi bibit yang tertinggal, ini
setelah terserang hama penyakit
yang konsekwensinya semua
rimbun jeruk madang harus
dipangkas habis,” ujar Dr Ir Taufik Hidayat MSi, seorang peneliti dari
Fakultas Pertanian Universitas
Lambungmangkurat dalam sebuah
diskusi di Kantor Banjarmasin Post
Group. Diakuinya, limau madang selama ini
mengukir prestasi nasional yang
tidak sedikit. Hampir setiap ada
lomba kualitas jeruk, limau madang
selalu menduduki peringkat terbaik
untuk rasa manisnya. Atau kalau juga harus bergeser tetap di
peringkat dua. Limau madang mempunyai rasa
manis yang khas, nyaris tak ada
rasa asam dan sangat segar.
Kulitnya yang tipis menjadikan
jenis jeruk yang tumbuh di
kawasan Kampung Sungai Madang, Kota Banjarmasin itu, berbeda
dengan jeruk lain. Ketika matang,
warna keemasan memancar dari
pori-pori kulitnya. Selama berpuluh tahun, limau
madang menjadi salah satu
maskot produk agrobisnis di
daerah ini. Namun, sangat
disayangkan, telah musnah tanpa
ada kesedihan dari masyarakatnya. Para peneliti dan ahli tumbuhan di
daerah ini juga tidak menujukkan
upayanya untuk melestarikan bibit
limau madang. Mereka terlanjur
‘angkat tangan’ terhadap hama
penyakit yang datang. Tidak ada yang kebakaran jenggot atau
uring-uringan. Reaksi pasrah ini berbeda ketika
Kalsel harus kehilangan Pulau
Larilarian yang hampir seluruh unsur
masyarakatnya merapatkan
barisan didahului adu argumen
dengan pihak mendagri. Memang, ada upaya untuk
memindahkan bibit limau madang
ke daerah Barito Kuala (Batola)
yang kini sudah beberapa kali
menuai panen raya. Namun, kulitas
sang legenda limau, tidak bisa dipertahankan. Tampaknya, belum menjadi budaya
kita untuk menangisi hilangnya
sebuah spesies tumbuhan. Ia
dianggap hanya sebagai pelengkap:
kalau ada ya dinikmati, kalau tidak
ada, sudahlah! Kita belum menempatkan spesies
tumbuhan sebagai sebuah warisan
leluluh, seperti orang Arab
melestarikan kurma ajuwa yang
kini harganya berada di papan
paling atas kurma di dunia. Atau orang Australia menjaga
kelestarian buah kiwi hingga kini
mampu mendunia. Bukan hanya limau madang yang
tinggal legenda, masih banyak buah
khas Kalsel lainnya kini hanya
bersisa nama. Dan, masih ada lagi
sejumlah buah yang juga terancam
punah seperti kasturi, kuweni dan sebagainya. Sementara, provinsi tetangga
seperti Kalimantan Barat, kini
sangat serius mengembangkan
produk agrobisnisnya. Salah satu
adalah keberhasilan Provinsi
Kalimantan Barat dalam mengembangkan jeruk sambas
yang kini sudah menasional itu. Saatnya, para ahli dan pemilik
kebijakan, menoleh kembali ke
sektor agro untuk dijaga dan
dikembangkan. Karena sebenarnya
sektor inilah yang paling
menjanjikan sekaligus ramah lingkungan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar