Sabtu, 29 Oktober 2011

madihin



Madihin (berasal dari kata madah dalam bahasa Arab yang berarti "nasihat", tapi bisa juga berarti "pujian") adalah
sebuah genre puisi dari suku Banjar. Puisi rakyat anonim bergenre
Madihin ini cuma ada di kalangan
etnis Banjar di Kalsel saja. Sehubungan dengan itu, definisi
Madihin dengan sendirinya tidak
dapat dirumuskan dengan cara
mengadopsinya dari khasanah di luar
folklor Banjar. Tajuddin Noor Ganie (2006) mendefinisikan Madihin dengan
rumusan sebagai berikut : puisi
rakyat anonim bertipe hiburan yang
dilisankan atau dituliskan dalam
bahasa Banjar dengan bentuk fisik
dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara
khusus dalam khasanah folklor
Banjar di Kalsel. Bentuk fisik Masih menurut Ganie (2006),
Madihin merupakan pengembangan
lebih lanjut dari pantun berkait. Setiap
barisnya dibentuk dengan jumlah kata
minimal 4 buah. Jumlah baris dalam
satu baitnya minimal 4 baris. Pola formulaik persajakannya merujuk
kepada pola sajak akhir vertikal a/a/
a/a, a/a/b/b atau a/b/a/b. Semua
baris dalam setiap baitnya berstatus
isi (tidak ada yang berstatus
sampiran sebagaimana halnya dalam pantun Banjar) dan semua baitnya
saling berkaitan secara tematis. Madihin merupakan genre/jenis puisi
rakyat anonim berbahasa Banjar yang
bertipe hiburan. Madihin dituturkan di
depan publik dengan cara dihapalkan
(tidak boleh membaca teks) oleh 1
orang, 2 orang, atau 4 orang seniman Madihin (bahasa Banjar
Pamadihinan). Anggraini Antemas
(dalam Majalah Warnasari Jakarta,
1981) memperkirakan tradisi
penuturan Madihin (bahasa Banjar :
Bamadihinan) sudah ada sejak masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Banjar pada tahun 1526. Status Sosial dan Sistim Mata Pencaharian
Pamadihinan Madihin dituturkan sebagai hiburan
rakyat untuk memeriahkan malam
hiburan rakyat (bahasa Banjar
Bakarasmin) yang digelar dalam
rangka memperintai hari-hari besar
kenegaraan, kedaerahan, keagamaan, kampanye partai politik, khitanan,
menghibur tamu agung, menyambut
kelahiran anak, pasar malam,
penyuluhan, perkawinan, pesta adat,
pesta panen, saprah amal, upacara
tolak bala, dan upacara adat membayar hajat (kaul, atau nazar). Orang yang menekuni profesi sebagai
seniman penutur Madihin disebut
Pamadihinan. Pamadihinan
merupakan seniman penghibur rakyat
yang bekerja mencari nafkah secara
mandiri, baik secara perorangan maupun secara berkelompok. Setidak-tidaknya ada 6 kriteria
profesional yang harus dipenuhi oleh
seorang Pamadihinan, yakni : (1)
terampil dalam hal mengolah kata
sesuai dengan tuntutan struktur
bentuk fisik Madihin yang sudah dibakukan secara sterotipe, (2)
terampil dalam hal mengolah tema
dan amanat (bentuk mental) Madihin
yang dituturkannya, (3) terampil
dalam hal olah vokal ketika
menuturkan Madihin secara hapalan (tanpa teks) di depan publik, (4)
terampil dalam hal mengolah lagu
ketika menuturkan Madihin, (5)
terampil dalam hal mengolah musik
penggiring penuturan Madihin
(menabuh gendang Madihin), dan (6) terampil dalam hal mengatur
keserasian penampilan ketika
menuturkan Madihin di depan publik. Tradisi Bamadihinan masih tetap
lestari hingga sekarang ini. Selain
dipertunjukkan secara langsung di
hadapan publik, Madihin juga
disiarkan melalui stasiun radio
swasta yang ada di berbagai kota besar di Kalsel. Hampir semua
stasiun radio swasta menyiarkan
Madihin satu kali dalam seminggu,
bahkan ada yang setiap hari.
Situasinya menjadi semakin
bertambah semarak saja karena dalam satu tahun diselenggarakan
beberapa kali lomba Madihin di tingkat
kota, kabupaten, dan provinsi dengan
hadiah uang bernilai jutaan rupiah. Tidak hanya di Kalsel, Madihin juga
menjadi sarana hiburan alternatif
yang banyak diminati orang,
terutama sekali di pusat-pusat
pemukiman etnis Banjar di luar
daerah atau bahkan di luar negeri. Namanya juga tetap Madihin. Rupa-
rupanya, orang Banjar yang pergi
merantau ke luar daerah atau ke luar
negeri tidak hanya membawa serta
keterampilannya dalam bercocok
tanam, bertukang, berniaga, berdakwah, bersilat lidah
(berdiplomasi), berkuntaw (seni bela
diri), bergulat, berloncat indah,
berenang, main catur, dan
bernegoisasi (menjadi calo atau
makelar), tetapi juga membawa serta keterampilannya bamadihinan (baca
berkesenian). Para Pamadihinan yang menekuni
pekerjaan ini secara profesional dapat
hidup mapan. Permintaan untuk
tampil di depan publik relatif tinggi
frekwensinya dan honor yang mereka
terima dari para penanggap cukup besar, yakni antara 500 ribu sampai
1 juta rupiah. Beberapa orang di
antaranya bahkan mendapat rezeki
nomplok yang cukup besar karena ada
sejumlah perusahaan kaset, VCD, dan
DVD di kota Banjarmasin yang tertarik untuk menerbitkan rekaman
Madihin mereka. Hasil penjualan
kaset, VCD, dan DVD tersebut
ternyata sangatlah besar. Pada zaman dahulu kala, ketika etnis
Banjar di Kalsel masih belum begitu
akrab dengan sistem ekonomi uang,
imbalan jasa bagi seorang
Pamadihinan diberikan dalam bentuk
natura (bahasa Banjar : Pinduduk). Pinduduk terdiri dari sebilah jarum
dan segumpal benang, selain itu juga
berupa barang-barang hasil
pertanian, perkebunan, perikanan,
dan peternakan. Keberadaan Madihin di Luar Daerah Kalsel Madihin tidak hanya disukai oleh para
peminat domestik di daerah Kalsel
saja, tetapi juga oleh para peminat
yang tinggal di berbagai kota besar di
tanah air kita. Salah seorang di
antaranya adalah Pak Harto, Presiden RI di era Orde Baru ini pernah begitu
terkesan dengan pertunjukan Madihin
humor yang dituturkan oleh
pasangan Pamadihinan dari kota
Banjarmasin Jon Tralala dan
Hendra. Saking terkesannya, beliau ketika itu berkenan memberikan
hadiah berupa ongkos naik haji plus
(ONH Plus) kepada Jon Tralala.
Selain Jhon Tralala dan Hendra, di
daerah Kalsel banyak sekali bermukim
Pamadihinan terkenal, antara lain : Mat Nyarang dan Masnah pasangan Pamadihinan yang paling senior di
kota Martapura), Rasyidi dan Rohana
(Tanjung), Imberan dan Timah (Amuntai), Nafiah dan Mastura
Kandangan), Khair dan Nurmah
(Kandangan), Utuh Syahiban
Banjarmasin), Syahrani
(Banjarmasin), dan Sudirman (Banjarbaru). Madihin mewakili Kalimantan Timur pada Festival Budaya Melayu. Datu Madihin, Pulung Madihin, dan Aruh Madihin Pada zaman dahulu kala,
Pamadihinan termasuk profesi yang
lekat dengan dunia mistik, karena
para pengemban profesinya harus
melengkapi dirinya dengan tunjangan
kekuatan supranatural yang disebut Pulung. Pulung ini konon diberikan
oleh seorang tokoh gaib yang tidak
kasat mata yang mereka sapa dengan
sebutan hormat Datu Madihin. Pulung difungsikan sebagai kekuatan
supranatural yang dapat memperkuat
atau mempertajam kemampuan
kreatif seorang Pamadihinan. Berkat
tunjangan Pulung inilah seorang
Pamadihinan akan dapat mengembangkan bakat alam dan
kemampuan intelektualitas
kesenimanannya hingga ke tingkat
yang paling kreatif (mumpuni).
Faktor Pulung inilah yang membuat
tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai
Pamadihinan, karena Pulung hanya
diberikan oleh Datu Madihin kepada
para Pamadihinan yang secara
genetika masih mempunyai hubungan
darah dengannya (hubungan nepotisme). Datu Madihin yang menjadi sumber
asal-usul Pulung diyakini sebagai
seorang tokoh mistis yang
bersemayam di Alam Banjuran
Purwa Sari, alam pantheon yang
tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat dalam konsep
kosmologi tradisonal etnis Banjar di
Kalsel. Datu Madihin diyakini sebagai
orang pertama yang secara
geneologis menjadi cikal bakal
keberadaan Madihin di kalangan etnis Banjar di Kalsel. Konon, Pulung harus diperbarui
setiap tahun sekali, jika tidak, tuah
magisnya akan hilang tak berbekas.
Proses pembaruan Pulung dilakukan
dalam sebuah ritus adat yang disebut Aruh Madihin. Aruh Madihin dilakukan pada setiap bulan Rabiul
Awal atau Zulhijah. Menurut Saleh
dkk (1978:131), Datu Madihin
diundang dengan cara membakar
dupa dan memberinya sajen berupa
nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak likat
baboreh. Jika Datu Madihin berkenan
memenuhi undangan, maka
Pamadihinan yang mengundangnya
akan kesurupan selama beberapa
saat. Pada saat kesurupan, Pamadihinan yang bersangkutan akan
menuturkan syair-syair Madihin
yang diajarkan secara gaib oleh Datu
Madihin yang menyurupinya ketika
itu. Sebaliknya, jika Pamadihinan
yang bersangkutan tidak kunjung kesurupan sampai dupa yang
dibakarnya habis semua, maka hal itu
merupakan pertanda mandatnya
sebagai Pamadihinan telah dicabut
oleh Datu Madihin. Tidak ada pilihan
bagi Pamadihinan yang bersangkutan, kecuali mundur teratur
secara sukarela dari panggung
pertunjukan Madihin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar