Sultan Hidayatullah Khalilullah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman, atau Hidayatullah II (lahir di Martapura,1822 – meninggal di Cianjur, Jawa Barat, 24 November 1904 pada umur 82 tahun) adalah salah seorang pemimpin Perang Banjar dan berkat jasa-jasa kepada bangsa dan negara, pada tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia telah menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama.
Beliau diangkat langsung oleh Sultan Adam menjadi Sultan Banjar untuk meneruskan pemerintahan kesultanan Banjar menggantikan sang kakek (Sultan Adam). Hidayatullah menjadi satu-satunya pemimpin rakyat Banjar antara tahun 1859 sampai 1862[3] pasca Hindia Belanda memakzulkan abang tirinya Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar versi Belanda pada 25 Juni 1859. Walaupun menurut surat wasiat Sultan Adam ia ditetapkan sebagai Sultan Banjar penggantinya kelak, tetapi masih banyak rintangan yang menghalanginya, oleh Belanda ia hanya mendapat posisi mangkubumi sejak 9 Oktober 1856. Langkahnya sebagai pengganti Sultan Adam menjadi lebih terbuka pada pada Februari 1859, Nyai Ratu Komala Sari (permaisuri almarhum Sultan Adam) beserta puteri-puterinya, telah menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayat, bahwa kesultanan Banjar diserahkan kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Sebelumnya Nyai Ratu Komala Sari sempat mengusulkan satu-satunya puteranya yang masih hidup yaitu Pangeran Prabu Anom sebagai pengganti Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk menyusun kekuatan dan pada bulan September 1859, Pangeran Hidayatullah II dinobatkan oleh para panglima sebagai Sultan Banjar dan sebagai mangkubumi adalah Pangeran Wira Kasuma, putera Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman dengan Nyai Alimah.
Ayah beliau adalah Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah, sedangkan ibunda beliau adalah Ratu Siti binti Pangeran Mangkubumi Nata yang juga bangsawan keraton Banjar (tutus). Pangeran Hidayatullah mewarisi darah biru keraton Banjar (tutus) dari kedua orangtuanya, karenanya menurut adat keraton sebagai kandidat utama sebagai Sultan Banjar dibandingkan Pangeran Tamjidullah II yang berasal dari isteri selir (Nyai) yang bukan tutus (bangsawan keraton Banjar). Kandidat yang lain (yang diusulkan permaisuri Sultan Adam) adalah Pangeran Prabu Anom putera almarhum Sultan Adam dengan Nyai Ratu Komalasari, pangeran ini diasingkan Belanda ke Jawa dengan surat yang ditandatangani oleh Sultan Tamjidullah II, sehari setelah pengangkatannya oleh Belanda menjadi Sultan Banjar. Peristiwa diasingkannya Pangeran Prabu Anom / paman Sultan Hidayatullah dan pengasingan Pangeran Tamjidillah membuat geram Sultan Hidayatullah dan bangsawan lainnya. Campur tangan Belanda dalam pengangkatan Sultan Banjar berkaitan status Kesultanan Banjar yang menjadi tanah pinjaman (daerah protektorat) dari VOC-Belanda sejak 13 Agustus 1787 di masa Tahmidullah II.
Pangeran Hidayatullah adalah Sultan Banjar yang dengan tipu muslihat Penjajah Belanda ditangkap dan kemudian diasingkan bersama dengan anggota keluarga dan pengiringnya ke Cianjur. Di sana beliau tinggal dalam suatu pemukiman yang sekarang dinamakan Kampung Banjar/Gang Banjar. Sultan Hidayatullah wafat dan dimakamkan di Cianjur. Sultan Hidayatullah pada tahun 1999 mendapat Bintang kenegaraan dari pemerintah RI.
Pada 30 April 1856, Pangeran Hidayatullah menandatangani persetujuan pemberian konsesi tambang batu bara kepada Hindia Belanda karena pengangkatannya sebagai Mangkubumi Kesultanan Banjar yang sebelumnya didiskusikan terlebih dahulu dengan kakeknya Sultan Adam.
Pada 9 Oktober 1856, setelah mengangkat Tamjidullah pada 8 Agustus 1852 sebagai Sultan Muda Banjar, Hindia Belanda mengangkat Hidayatullah sebagai Mangkubumi Banjar untuk meredam pergolakan di Kesultanan Banjar atas tersingkirnya Pangeran Hidayatullah yang didukung oleh kaum ulama dan bangsawan keraton serta telah mendapat wasiat dari Sultan Adam sebagai Sultan Banjar.
Pada 18 April 1859 terjadi Penyerangan terhadap tambang batu bara Oranje Nassau milik Hindia Belanda dipimpin oleh Pangeran Antasari, Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng Yuda Panakawan atas persetujuan Sultan Hidayatulah .
Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah sebagai Sultan Banjar oleh Kolonel Andresen untuk memulihkan keadaan. Dengan Siasat menempatkan Sultan Hidayatullah sebagai Sultan Banjar dan menurunkan Pangeran Tamjidullah karena Belanda menilai penyerangan tambang batubara mereka berkaitan dengan kekuasaan di Kesultanan Banjar. Sultan Hidayatulllah dinilai sebagai tokoh penting dalam penyerbuan ke tambang batubara Pengaron, sehingga harus dijinakkan dengan menempatkan Sultan pada posisinya sesuai surat wasiat Sultan Adam. Akan tetapi pengangkatan oleh Belanda ini ditolak mentah-mentah dan didukung oleh seluruh Bangsawan maupun rakyatnya.
Pada 5 Februari 1860 Belanda mengumumkan bahwa jabatan Mangkubumi Pangeran Hidayat dihapuskan.[4] Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar.
Pada 10 Desember 1860, Pangeran Hidayatullah melantik Gamar dengan gelar Tumenggung Cakra Yuda untuk mengadakan perang Sabil terhadap Belanda.
Dalam bulan Juni 1861 Sultan Hidayatullah berada di Gunung Pamaton (Kabupaten Banjar). Rakyat Gunung Pamaton menyambut kedatangan Sultan Hidayatullah dan rakyat membuat benteng pertahanan sebagai usaha mencegah serangan Belanda yang akan menangkapnya. Sementara itu Sultan Hidayatullah berunding dengan Mufti di Martapura. Perundingan pertama diadakan di Kalampayan dan yang kedua di kampung Dalam Pagar. Dalam perundingan itu disepakati rencana akan melakukan serangan umum terhadap kota Martapura. Para penghulu dan alim ulama akan mengerahkan seluruh rakyat melakukan jihad perang sambil mengusir Belanda dari bumi Banjar.
Serangan umum ini direncanakan dilakukan pada tanggal 20 Juni 1861, tetapi rencana itu bocor ke tangan Belanda. Oleh karena itu sebelum tanggal 20 Juni Belanda secara tiba-tiba menyerang benteng Gunung Pamaton tempat pertahanan Sultan Hidayatullah. Serangan Belanda itu dapat digagalkan dengan banyak membawa korban di pihak Belanda. Sementara itu di kampung Kiram, tidak jauh dari Gunung Pamaton dan di daerah Banyu Irang, Pambakal Intal dan pasukan Tumenggung Gumar telah berhasil menghancurkan kekuatan Kopral Neyeelie. Mayat-mayat pasukan Belanda ini dihanyutkan di sungai Pasiraman. Pambakal Intal berhasil menguasai senjata serdadu Belanda ini.
Untuk menghadapi serangan umum terhadap Martapura ini Assisten Residen Mayor Koch yang merangkap menjadi Panglima di daerah Martapura meminta bantuan kepada Residen Gustave Verspijck di Banjarmasin. Residen segera mengirimkan bantuan dengan mengirimkan kapal perang Van Os yang mengangkut meriam dan perlengkapan perang lainnya. Serangan selanjutnya dilakukan oleh Mayor Koch secara besar-besaran terhadap benteng Gunung Pamaton, mendahului rencana serangan umum terhadap Martapura oleh rakyat yang bocor ke pihak Belanda. Rakyat seluruh daerah Martapura dan sekitarnya bangkit melakukan serangan sehingga hampir di seluruh pelosok terjadi pertempuran. Pertempuran terjadi pula di Kuala Tambangan. Tumenggung Gamar yang akan membawa pasukannya memasuki kota Martapura ternyata tidak berhasil, karena Belanda telah mempersiapkan pertahanan yang lebih kuat.
Pambakal Mail terlibat perang menghadapi serdadu Belanda di sekitar daerah Mataraman, sementara di Gunung Pamaton pertempuran terus berkobar. Pasukan Belanda bukan saja menyerang benteng Gunung Pamaton yang belum berhasil dikuasainya, tetapi juga membakar rumah-rumah penduduk yang tidak berdosa. Membinasakan kebun-kebun dan menangkapi penduduk, sehingga penjara Martapura penuh sesak. Dalam pertempuran di Gunung Pamaton tersebut banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Letnan Ter Dwerde dan Kopral Grimm tewas kena tombak dan tusukan keris di perutnya.
Serangan bulan Juni 1861 terhadap benteng Gunung Pamaton berhasil digagalkan oleh rakyat yang hanya memiliki persenjataan sederhana. Memang benteng Gunung Pamaton saat itu dipertahankan oleh pimpinan perang yang gagah berani, selain Sultan Hidayatullah terdapat pula Demang Lehman, Tumenggung Gamar, Raksapati, Kiai Puspa Yuda Negara. Selain itu terdapat pula pahlawan wanita Kiai Cakrawati yang selalu menunggang kuda yang sebelumnya ikut mempertahankan Benteng Gunung Madang, dan saat itu ikut mempertahankan Benteng Gunung Pamaton.
Dalam bulan Agustus 1861 Mayor Koch sekali lagi mengerahkan pasukannya menyerbu Gunung Pamaton. Sebelum serangan dilakukan. Mayor Koch menghancurkan semua ladang, lumbung padi rakyat, hutan-hutan, dengan harapan menghancurkan persediaan bahan makanan, dan menghancurkan hutan-hutan yang dapat dijadikan benteng pertahanan. Mayor Koch gagal dalam usahanya untuk menangkap Sultan Hidayatullah dan pimpinan perang lainnya, karena sebelumnya benteng ini telah ditinggalkan, karena rakyat menggunakan siasat gerilya dalam usaha melawan Belanda yang memiliki persenjataan yang lebih baik. Perang gerilya adalah salah satu siasat untuk mengantisipasi musuh yang memiliki persenjataan yang lebih unggul.
Setelah ditipu dengan terlebih dahulu menyandera ibunya, Sultan Hidayatullah pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur.